BP.NASIONAL- (Jakarta Selatan) WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Nasional mengadakan dialog publik sekaligus peluncuran buku di Tjap Toean Restaurant, FX Plaza Sudirman, Jakarta Selatan.
Mengangkat tema, Kelola Rakyat atas Ekosistem Rawa Gambut: Pelajaran Ragam Potret dan Argumen Tanding. Kali ini WALHI mampu menghadirkan para praktisi, aktivis lingkungan, rekan media serta dari kementrian lingkungan hidup dan kehutanan. Sekitar 50 orang menghadiri acara tersebut.
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut No.57/2016 sebagai revisi atas PP sebelumnya No.71/2014 adalah material organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang berkomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 cm / lebih dan terakumulasi pada rawa.
Ekosistem tersebut, terbentuk menjadi satu kesatuan utuh yang saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas dan produktivitasnya.
Pemerintah Jokowi – JK menegaskan dalam nawacitanya sebagai jalan perubahan yang ditawarkan kepada rakyat Indonesia. Dimana di dalamnya mengandung beberapa nilai kerakyatan.
Jika pemerintah saat ini serius berkomitmen membangun ekonomi rakyat berkelanjutan, maka kami mendesak pemerintahan ini untuk tidak lagi melaksanakan pembangunan yang dikendalikan pasar dan didominasi oleh para pelaku korporasi.
Buku dan dialog publik ini bertujuan untuk memberikan konstribusi bagi upaya perlindungan dan pemulihan kawasan ekosistem maupun budaya, inter dan antar generasi. Sebagai sebuah riset advokasi, tentu WALHI berharap agar mampu mendorong perubahan kebijakan negara agar pemerintah nasional maupun daerah berpihak kepada rakyat dan lingkungan hidup.
Direktur Eksekutif WALHI, Nur Hidayati memaparkan konsep WALHI adalah Model Hutan Kerakyatan. “Dalam 4-5 Tahun terakhir, model counter/model interaksi kelola rakyat dari cara pandang episentris, ekosistem adalah penentu keberhasilan manusia/komunitas.”
Tata kelola untuk mendukung komitmen agenda pengelolaan gambut yang adil dan berkelanjutan dimana kebutuhan aktivitas manusia memeperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan BRG, Ibu Myrna Safitri juga menegaskan bahwasanya, “buku ini adalah benar adanya, sebuah counter opini yang akan bisa diterjemahkan dalam setiap program KLHK.”
Sebuah counter opini haruslah diimbangi oleh edukasi budaya serta sistem ekonomi berbasis mitigasi ekonomi.
“Restorasi lahan gambut itu tidak hanya pemetaan saja namun harus sesuai kepres dan fungsional sosial untuk memulihkan lahan gambut, sesuai tagline KLHK BRG yaitu ‘Pulihkan Gambut, Pulihkan Kemanusiaan, lanjutnya.
Program yang sudah dijalankan KLHK mengenai Restorasi Gambut adalah program terapan terpadu, keterlibatan Penanganan BRG serta kanal pengaduan BRG. Karena pada dasarnya lahan gambut adalah daerah yang tak bertuan dan harus dikelola dengan baik oleh masyarakat dan negara.
Menurut Perwakilan Masyarakat Desa Nusantara, Bapak Sukirman menganalisa bahwa, “gaung yang seperti ini harus berlanjut ke masyarakat kecil jadi pemerintah pusat harus memberi perhatian khusus hingga ke daerah.”
Faktanya, masih banyak dilapangan para petani yang direpresif oleh aparat hingga sampai di tahan.
“Dan kebakaran lahan tahun lalu jelas terbukti, bukan rakyat yang melakukannya tapi korporasi yang membakarnya,” lanjutnya. (ikrar/ bentengpos.com)