BP.NASIONAL – (NASIONAL) Dalam mengatur masyarakat, pemerintah menggunakan hukum sebagai alatnya. Dengan hukum, Hak Asasi Manusia bahkan dapat dibatasi oleh negara. Oleh karena itulah, dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang telah terjadi di hampir seluruh negara di dunia, pemerintah juga menggunakan hukum. Sebagai alat mengatur masyarakat, penggunaan hukum juga memiliki konsekuensi tentunya: ekonomi, sosial, budaya. Hal ini disebabkan, hukum tidak bergerak di ruang hampa. Oleh karena itu, sebelum memberlakukan hukum, kajian sosial mutlak dilakukan.
Pandemi Covid-19 memaksa negara bertindak segera dengan merujuk Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Salah satu yang dilakukan adalah melakukan pembatasan sosial untuk mencegah meluasnya Covid-19, dan dengan demikian negara telah menjalankan tugasnya dalam melindungi segenap warga negaranya.
Pemerintah saat ini telah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), padahal pandemi Covid-19 ini telah terjadi di banyak negara dengan korban meninggal 324.417 per 20 Mei ini yang menurut Pasal 14 Ayat (1) UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan seharusnya diterapkan karantina wilayah, tidak cukup hanya PSBB.
Kajian Sosial dan PSBB-Karantina Wilayah PSBB merupakan tindakan yang bertujuan mencegah penyebaran penyakit dengan tindakan peliburan sekolah, tempat kerja, dan pembatasan kegiatan keagamaan dan fasilitas umum lainnya (Pasal 59 Ayat (3)). Sedangkan karantina wilayah memiliki konsekuensi yang lebih luas, mengikat seluruh anggota masyarakat di suatu wilayah agar tidak dapat keluar masuk wilayah karantina tersebut. Jika karantina wilayah, pergerakan masyarakat lebih terbatas, tetapi kesejahteraannya tetap terjamin: undang-undang mengatur bahwa segala kebutuhan hidup dasar masyarakatnya bahkan hewan ternak menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Bagaimana penerapan di Indonesia?
PSBB saat ini telah diberlakukan di sejumlah kabupaten/ kota di Indonesia. Menjadi agak membingungkan, ketika belakangan kebijakan ini disusul dengan larangan mudik bagi masyarakat yang berasal dari wilayah zona merah. Bagaimana pemerintah dapat melarang pergerakan masyarakat di suatu wilayah untuk tidak keluar wilayahnya tanpa menerapkan karantina wilayah? Hemat Penulis, kondisi tersebut memposisikan masyarakat seperti dalam posisi diterapkannya karantina wilayah, namun tidak mendapatkan jaminan hidup sebagaimana masyarakat yang dikarantina.
Tidak adanya pilihan lain kecuali menutup sementara usaha, dilakukan pedagang makanan di sekolah atau kantor. Pengusaha resto, karena larangan berkumpul sebagaimana ketentuan dalam PSBB juga telah mengurangi pelanggannya yang signifikan. Masyarakat seperti dipaksa untuk diam di rumah, namun dituntut untuk tetap bertahan hidup tanpa penghasilan. Keinginannya untuk pulang ke kampung halaman, juga terpaksa diurungkan karena adanya larangan.
Atas hal itu, kajian sosial mutlak dilakukan sebelum menetapkan peraturan perundang-undangan. Hal ini mengingat dalam ruang sosiallah hukum terletak. sehingga tidak dapat dilepaskan dari konteks sosialnya. Hukum justru dapat menjadi boomerang yang dapat balik mengancam hak dan kesejahteraan masyarakat jika diterapkan tanpa kajian yang matang.
A-Nomie dalam Darurat Kesehatan Masyarakat Istilah “A-Nomie” pertama kali dikenal di Inggris pada 1951, menunjuk pada sikap tidak peduli terhadap hukum, (Fox: 1976). Kata “anomi” sendiri berasal dari bahasa Yunani, anomia yang berarti “tanpa norma”.
Berbicara anomie dalam darurat Kesehatan Masyarakat, didasarkan pada teori kriminologi yang dikemukakan oleh seorang sosiolog Perancis, Emile Durkheim. Sangat berbeda dengan kondisi Indonesia yang sedang mengalami situasi darurat kesehatan, sebenarnya Durkheim melakukan penelitiannya ketika Amerika mengalami kemakmuran mendadak, yang justru dengan seketika mengakibatkan perubahan norma pada masyarakat, menimbulkan kebingungan, dan secara serius menghasilkan angka bunuh diri yang tinggi (Durkheim: 1951).
Perubahan norma hukum di tengah Kesehatan Masyarakat di Indonesia cenderung menunjukkan gejala yang serupa. Perubahan norma yang mendadak dengan pembatasan aktifitas masyarakat, ditambah peluang sosial yang berbeda, mengakibatkan kondisi masyarakat kelas bawah kehilangan sarana dan kesulitan mempertahankan kesejahteraannya. Dalam kondisi ini, secara seketika masyarakat akan mengalami kepanikan dan kebingungan, dan pada akhirnya mendorong masyarakat untuk melakukan penyimpangan norma.
Kondisi ini mulai tergambar setidaknya pada masyarakat Jabodetabek dalam menghadapi perubahan norma hukum yang terus menerus dalam menyikapi pandemic Covid-19. Masyarakat yang dihimbau untuk berdiam di rumah, pada beberapa waktu sempat menutup usaha dan mengikuti anjuran pemerintah, namun ketidakjelasan arah perubahan norma hukum tak pelak menimbulkan kebingungan di masyarakat. Kebutuhan mempertahankan hidup memaksa sebagaian masyarakat khususnya kelas bawah untuk melakukan penyimpangan, dengan tetap melakukan serangkaian aktifitas tanpa memperhitungkan aspek pembatasan demi mempertahankan hidup. Dalam kondisi inilah masyarakat kehilangan pegangan, menjalankan hidup tanpa memperdulikan norma dan tercipta kondisi anomi.
Kondisi anomi dalam darurat Covid-19 saat ini secara umum masih terfokus pada masyarakat kelas menengah kebawah, tidak membuka kemungkinan akan meluas jika pemerintah tidak segera mengambil kebijakan yang efektif dan sistematis. Sampai kapan covid-19 mewabah di Indonesia? Bagaimana nasib bangsa Indonesia selanjutnya? Semua kembali pada politik hukum yang diambil pemerintah dan kekuatan ikatan sosial masyarakat Indonesia.
Halimah Humayrah Tuanaya Dosen Fakultas Hukum UNPAM.
(Bentengpos.com/zul/red)